Pelambatan pertumbuhan kinerja keuangan kembali menghantui bank-bank pada 2016 dengan ancaman kredit macet dan tekanan biaya operasional. Hampir separuh bank umum menderita penurunan laba tahun lalu. Bank-bank yang menggenjot efisiensi untuk menuju suku bunga kredit single digit kuenya mulai “dititili” penyedia financial technology. Karnoto Mohamad
MASA ujian para bankir belum berakhir. Bankir dari 64 bank yang labanya anjlok tahun lalu harus rela bonus yang diterimanya menipis. Bankir dari 64 bank yang labanya tumbuh pun tak lagi bebas memutuskan bonusnya sendiri. Kalaupun tantiem makin tebal, setidaknya mereka dituntut lebih bertanggung jawab atas ganjaran kompensasi yang diterimanya. Kebijakan remunerasi, termasuk tantiem atau bonus, harus sesuai pascakeluarnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 45/POJK.03/2015.
Jika tidak, bank bisa terkena sanksi berupa teguran tertulis hingga penurunan peringkat faktor good corporate governance (GCG). Aturan ini seperti mengoreksi agresivitas bankir-bankir untuk menggenjot untung maksimal demi mengejar bonus besar tapi mengabaikan sustainability bisnisnya. Makanya, untuk mendorong dilakukannya prudent risk taking pembayaran remunerasi yang bersifat variabel bisa ditunda.
Dengan keluarnya aturan remunerasi, makin lengkap aturan dan rambu-rambu yang harus dipatuhi para bankir. Namun, tak ada yang lebih heboh dari aturan sertifikasi manajemen risiko. Aturan ini sudah berlaku sejak 2009 ketika regulator pengawasan bank masih di tangan Bank Indonesia (BI). Namun, kegaduhan muncul setelah pada medio Maret lalu OJK mengirim surat ke bank-bank agar tidak mengikuti sertifikasi manajemen risiko yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP) dengan alasan lembaga ini belum mendapat pengakuan internasional.
Kalangan bankir yang tak berani menentang regulator pun hanya bisa garuk-garuk kepala sambil berbisik-bisik mempertanyakan OJK yang kegiatannya dibiayai oleh industri keuangan tapi memberatkan bank-bank dengan menciptakan “monopoli” sertifikasi manajemen risiko hanya kepada Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR). Kehebohan reda setelah Juni lalu OJK kembali mengeluarkan surat yang kembali memperbolehkan LSPP mengeluarkan sertifikat manajemen risiko karena sudah mengacu atau mendapatkan pengakuan lembaga internasional. “Kita lebih percaya dengan stempel asing,” cetus seorang bankir kepada Infobank, bulan lalu.
Jika aturan remunerasi atau sertifikasi manajemen risiko pasti bisa dipatuhi kendati “terpaksa”, tapi desakan pemerintah dan regulator agar bank-bank menurunkan suku bunga kredit menjadi single digit yang paling dituruti. Untuk menurunkan suku bunga kredit menjadi single digit, para bankir harus memutar otak bagaimana mencari sumber dana dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada suku bunga kredit. Sebab, biaya dana (cost of fund) adalah komponen biaya tertinggi dari besarnya suku bunga kredit dengan porsi sekitar 60%-65%.
Padahal, kalender 2016 masih menjadi tahun ujian para bankir. Tidak kehabisan tenaga saja sudah beruntung karena bank-bank sudah berusaha keras untuk lolos dari musim kering likuiditas dan tekanan kredit bermasalah sejak tiga tahun terakhir. Selain likuiditas belum melimpah, usaha bank menekan non performing loan (NPL)-nya yang terus merangkak naik tidaklah mudah. Sebab, permintaan kredit baru masih lemah dan para debitor yang sudah ada pun banyak yang kesulitan cash flow karena omzetnya tertekan penurunan daya beli masyarakat. Jika melambatnya pertumbuhan kredit yang berlangsung sejak 2013 kembali terjadi pada tahun ini, NPL perbankan dipastikan masih akan merangkak naik.
MASA ujian para bankir belum berakhir. Bankir dari 64 bank yang labanya anjlok tahun lalu harus rela bonus yang diterimanya menipis. Bankir dari 64 bank yang labanya tumbuh pun tak lagi bebas memutuskan bonusnya sendiri. Kalaupun tantiem makin tebal, setidaknya mereka dituntut lebih bertanggung jawab atas ganjaran kompensasi yang diterimanya. Kebijakan remunerasi, termasuk tantiem atau bonus, harus sesuai pascakeluarnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 45/POJK.03/2015.
Jika tidak, bank bisa terkena sanksi berupa teguran tertulis hingga penurunan peringkat faktor good corporate governance (GCG). Aturan ini seperti mengoreksi agresivitas bankir-bankir untuk menggenjot untung maksimal demi mengejar bonus besar tapi mengabaikan sustainability bisnisnya. Makanya, untuk mendorong dilakukannya prudent risk taking pembayaran remunerasi yang bersifat variabel bisa ditunda.
Dengan keluarnya aturan remunerasi, makin lengkap aturan dan rambu-rambu yang harus dipatuhi para bankir. Namun, tak ada yang lebih heboh dari aturan sertifikasi manajemen risiko. Aturan ini sudah berlaku sejak 2009 ketika regulator pengawasan bank masih di tangan Bank Indonesia (BI). Namun, kegaduhan muncul setelah pada medio Maret lalu OJK mengirim surat ke bank-bank agar tidak mengikuti sertifikasi manajemen risiko yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP) dengan alasan lembaga ini belum mendapat pengakuan internasional.
Kalangan bankir yang tak berani menentang regulator pun hanya bisa garuk-garuk kepala sambil berbisik-bisik mempertanyakan OJK yang kegiatannya dibiayai oleh industri keuangan tapi memberatkan bank-bank dengan menciptakan “monopoli” sertifikasi manajemen risiko hanya kepada Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR). Kehebohan reda setelah Juni lalu OJK kembali mengeluarkan surat yang kembali memperbolehkan LSPP mengeluarkan sertifikat manajemen risiko karena sudah mengacu atau mendapatkan pengakuan lembaga internasional. “Kita lebih percaya dengan stempel asing,” cetus seorang bankir kepada Infobank, bulan lalu.
Jika aturan remunerasi atau sertifikasi manajemen risiko pasti bisa dipatuhi kendati “terpaksa”, tapi desakan pemerintah dan regulator agar bank-bank menurunkan suku bunga kredit menjadi single digit yang paling dituruti. Untuk menurunkan suku bunga kredit menjadi single digit, para bankir harus memutar otak bagaimana mencari sumber dana dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada suku bunga kredit. Sebab, biaya dana (cost of fund) adalah komponen biaya tertinggi dari besarnya suku bunga kredit dengan porsi sekitar 60%-65%.
Padahal, kalender 2016 masih menjadi tahun ujian para bankir. Tidak kehabisan tenaga saja sudah beruntung karena bank-bank sudah berusaha keras untuk lolos dari musim kering likuiditas dan tekanan kredit bermasalah sejak tiga tahun terakhir. Selain likuiditas belum melimpah, usaha bank menekan non performing loan (NPL)-nya yang terus merangkak naik tidaklah mudah. Sebab, permintaan kredit baru masih lemah dan para debitor yang sudah ada pun banyak yang kesulitan cash flow karena omzetnya tertekan penurunan daya beli masyarakat. Jika melambatnya pertumbuhan kredit yang berlangsung sejak 2013 kembali terjadi pada tahun ini, NPL perbankan dipastikan masih akan merangkak naik.